Seorang remaja tanggung datang malam itu, mengantar temannya, seorang anak gadis yang sulit kutebak umurnya.
“Rama, mau konsultasi. Besok khan hari ulangtahunnya dia, tapi dia ini malah ingin mengakhiri hidupnya. Gimana ini, Rama?” dia langsung bicara, bahkan sebelum kupersilakan duduk.
“Enggak kok!” Si gadis kecil menunduk, setengah menyembunyikan wajahnya di sisi bahu sahabatnya. Sepertinya dia enggan bicara, namun pepat juga dada dan kepala menahan gelora hatinya. Tak tahu, untuk siapa kalimatnya, dan entah pula maksudnya.
Aku duduk, dan mereka pun berdua mengikutiku. Senyumku memancingnya untuk bertutur. Semula dia diam, sahabatnya yang memulai pembicaraan. Kutanya, hanya diam dan sembab mata jawabannya. Pelan… dari keengganan dan kebingunan, disusul derai air mata…. Sampai kemudian dia mulai lancar mengkalimatkan bebannya.
Si gadis kecil, yang SMP pun belum lulus tetapi wajahnya menyiratkan pergulatan yang membuatnya lebih matang —aku sempat menanyainya, “Sekarang kuliah, sekolah, atau…?” karena memang susah menebak dari gurat wajahnya— membuka pedih hatinya. Ibu bapaknya bercerai sejak di SD. Si Bapak pergi entah ke mana. Ibu lalu nikah lagi dan meninggalkan anak-anaknya. Kakak-kakaknya tercerai-berai, pergi sendiri-sendiri, dan nyaris tak ada kontak lagi. Ia sendirian, bersama neneknya yang mulai pula ditelan kerentaan.
Dia mengeluhkan, mengapa hidupnya terus menanggung duka di usianya yang masih muda. Ia tak tahan betapa dalam kepedihan itu malahan banyak saudara menyudutkannya dengan celaan. Ia marah pada ibunya, tapi tak rela setiap kali ada saudara yang mencela. Ia tak ingin ada seorang pun tahu masalahnya, maka berusaha selalu tampil ceria, tapi itu mengingkari apa yang bergolak di dalam hatinya. Hidup hanya meniti derita demi derita… Hidup tak lagi berguna, hanya jadi beban saja… Semua sia-sia! Bunuh diri adalah satu-satunya jalan mengakhiri penderitaan dan membebaskan neneknya dari beban, itu saja yang dapat dipikirkan.
Aku mendengarkannya, mencoba turut merasakan kesepian, kesendirian, dan kehampaan yang dituturkannya. Perceraian kedua orangtuanya sudah menjadi beban yang tak mudah dipikul. Lebih berat lagi, ternyata baik bapak maupun ibunya kemudian meninggalkan anak-anaknya; anak-anak dititipkan pada kakek-neneknya. Tak hanya ditinggalkan, tetapi merasa terbuang! Sesudah itu, dalam keterpurukannya, ternyata kakak-kakaknya pun tercerai berai, berpisah dan tak saling komunikasi. Orang-orang yang diharapkan menjadi orang-orang terdekat tidak ada. Kakek yang menjadi pelindung hati dan tulang punggung ekonomi meninggal, suatu kehilangan yang begitu menghampakan. Dia butuh tempat di mana ia merasa berharga dan diterima, tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Kerabat-kerabatnya menyalahkan kedua orangtuanya yang menelantarkan anak dan ‘membebani’ neneknya dengan tanggungjawab memelihara cucu-cucunya. Kesepiannya semakin mendalam, karena dia merasa harus menyimpan bebannya sendirian jangan sampai masalah keluarganya diketahui oleh teman-teman.
Ia ingin melarikan diri dari masalahnya! Masalah yang silih ganti dan bertambah berdatangan dalam hidupnya dan dia merasa tak kuat lagi menanggungnya. Ia merasa hidupnya tak lagi bermakna, dan seolah tiada artinya kehidupannya di dunia. Tak ada yang akan kehilangan dia kalau meninggalkan dunia ini, bahkan neneknya tak akan lagi terbebani. Dia pun akan terbebas dari semua derita ini.
Aku mengajaknya berpikir, benarkah masalah akan selesai kalau dia bunuh diri? Membunuh diri tak akan menghasilkan kebahagiaan apa-apa, selain menghasilkan kematian belaka. Killing yourself won’t make you happy, it will simply make you dead! Neneknya pun bukannya tak lagi terbebani, tetapi akan menanggung beban baru lagi.
Kuyakinkan pula, bahwa orang yang melarikan diri dari masalah selamanya tidak pernah akan sukses. Kesuksesan tak pernah menjadi hak orang yang melarikan diri dari masalah. Hanya mereka yang berani menghadapi persoalannya, juga kalau keberanian itu membuatnya jatuh dan jatuh, yang akan bisa meraih keberhasilan. Orang yang melarikan diri dari masalah, mungkin tidak merasa jatuh dan gagal, tapi dia tidak mungkin mencapai keberhasilan.
Sekarang bunuh diri, akan mati. Tidak bunuh diri pun, pada saatnya kita semua juga akan mati. Tapi kita bisa memilih kematian kita menjadi kematian yang bermakna dan mulia atau kematian tanpa makna, sia-sia, atau bahkan hina. Usianya baru lima belas tahun, taruhlah misal hidup sampai tujuhpuluh tahun, maka ia masih punya kesempatan hidup limapuluh lima tahun! Lima belas tahun hidup seolah tanpa makna bisa dilanjutkan dengan limapuluh lima tahun hidup penuh makna dan bahagia. Akankah hidup lima belas tahun penuh penderitaan ini diakhiri dengan penderitaan pula! Atau akan dilanjutkan dengan lima puluh lima tahun penuh makna dan bahagia hingga nanti saat mengakhirinya dengan kematian yang mulia?
Aku mulai menyanjungnya, dengan sanjungan tulus atas apa yang tadi dikatakannya, bahwa meski keadaannya seperti ini dia tidak melarikan diri dengan obat-obatan atau pergaulan yang tidak sehat! Aku mengatakan dan meyakinkan dia, betapa dia ini sebenarnya perkasa dan luar biasa. Seorang yang seteguh ini sungguh dibutuhkan untuk masa depan dunia. Mulai tampak sedikit rona pengharapan di wajahnya.
Aku memberi beberapa inspirasi yang mungkin bisa dia buat untuk menolong banyak orang. Misalnya saja dia menuliskan pergulatan hatinya, kemudian menggubahnya menjadi sebuah cerita entah cerita pendek, puisi, novel atau apa yang mengungkapkan pergulatannya. Cerita yang sungguh bertolak dari pengalaman nyata dan mendalam darinya, mungkin akan bisa membuat orangtua berpikir ulang tentang anaknya ketika ingin bercerai dan bisalah itu menyelamatkan keluarganya. Anak-anak muda yang ada dalam pergulatan yang sama dengannya akan mendapatkan keteguhan pula. Kalau penderitaan kita ini dapat berguna untuk keselamatan orang lain, mengapa kita tidak menggunakannya? Bukankah Gusti Yesus itu juga menderita di kayu salib, namun penderitaannya menyelamatkan kita? Mungkin kita bukan orang tersalib, tapi kita juga boleh ikut memikul salib… dan kita pun bisa membuat salib kita berguna demi keselamatan.
Rona wajahnya semakin menyala…
Satu hal lagi kukatakan, sebagai yang terakhir tapi sangat penting untuk kunyatakan: Kalau kamu melakukan semua itu, mengolah sakit-deritamu untuk menyelamatkan orang, hidupmu akan sangat berharga dan bermakna. Pasti derita dan kesulitan hidup tetap ada, tetapi kebahagiaan akan hadir pula, jauh lebih besar dan melingkupi semuanya… Tetapi hidupmu sekarang ini pun, tanpa telah melakukan hal-hal yang akan membuat guna dan makna seperti itu, sekarang ini pun hidupmu ini berharga! Mengapa ada seorang sahabat mengantarkanmu ke sini ketika engkau mengatakan hendak bunuh diri? Kenapa dia tidak diam dan cuek aja membiarkan semuanya terjadi begitu saja? Karena kamu berharga di hidupnya. Mengapa aku mendengarkanmu bercerita dan berusaha meyakinkanmu untuk bukannya mengakhiri hidup tapi melakukan hal-hal yang berguna? Karena aku tahu engkau ini batu permata berharga bagi masa depan banyak anak muda dan bahkan bagi keluarga-keluarga yang lebih tua… Hanya saja permata itu belum bersinar karena belum digerenda dan digosok sempurna! Mengapa Tuhan mengirimmu malam ini ke sini? Karena kamu mutiara berharga dihatiNya, kamu sangat dicintaiNya, dan hidupmu berharga di mataNya! Kamu diselamatkanNya karena kamu dicintaiNya dan kamu dibutuhkanNya untuk berkarya di dunia!
Air matanya meleleh… semoga oleh keharuan bukan oleh derita yang makin dalam!
Aku mengakhiri perjumpaan dengan doa dan berkat, sebab hanya Tuhan yang bisa membuatnya sungguh selamat!
Ia pulang dengan membawa senyuman, meski aku tahu derita tidaklah begitu saja hilang…
...semoga kita teringat untuk tak pernah membiarkan seorang pun anak merasa hidupnya sia-sia, semoga kita semakin menghayati dan membangun hidup penuh makna!
papa tan mengasihi Anda semua!
“Rama, mau konsultasi. Besok khan hari ulangtahunnya dia, tapi dia ini malah ingin mengakhiri hidupnya. Gimana ini, Rama?” dia langsung bicara, bahkan sebelum kupersilakan duduk.
“Enggak kok!” Si gadis kecil menunduk, setengah menyembunyikan wajahnya di sisi bahu sahabatnya. Sepertinya dia enggan bicara, namun pepat juga dada dan kepala menahan gelora hatinya. Tak tahu, untuk siapa kalimatnya, dan entah pula maksudnya.
Aku duduk, dan mereka pun berdua mengikutiku. Senyumku memancingnya untuk bertutur. Semula dia diam, sahabatnya yang memulai pembicaraan. Kutanya, hanya diam dan sembab mata jawabannya. Pelan… dari keengganan dan kebingunan, disusul derai air mata…. Sampai kemudian dia mulai lancar mengkalimatkan bebannya.
Si gadis kecil, yang SMP pun belum lulus tetapi wajahnya menyiratkan pergulatan yang membuatnya lebih matang —aku sempat menanyainya, “Sekarang kuliah, sekolah, atau…?” karena memang susah menebak dari gurat wajahnya— membuka pedih hatinya. Ibu bapaknya bercerai sejak di SD. Si Bapak pergi entah ke mana. Ibu lalu nikah lagi dan meninggalkan anak-anaknya. Kakak-kakaknya tercerai-berai, pergi sendiri-sendiri, dan nyaris tak ada kontak lagi. Ia sendirian, bersama neneknya yang mulai pula ditelan kerentaan.
Dia mengeluhkan, mengapa hidupnya terus menanggung duka di usianya yang masih muda. Ia tak tahan betapa dalam kepedihan itu malahan banyak saudara menyudutkannya dengan celaan. Ia marah pada ibunya, tapi tak rela setiap kali ada saudara yang mencela. Ia tak ingin ada seorang pun tahu masalahnya, maka berusaha selalu tampil ceria, tapi itu mengingkari apa yang bergolak di dalam hatinya. Hidup hanya meniti derita demi derita… Hidup tak lagi berguna, hanya jadi beban saja… Semua sia-sia! Bunuh diri adalah satu-satunya jalan mengakhiri penderitaan dan membebaskan neneknya dari beban, itu saja yang dapat dipikirkan.
Aku mendengarkannya, mencoba turut merasakan kesepian, kesendirian, dan kehampaan yang dituturkannya. Perceraian kedua orangtuanya sudah menjadi beban yang tak mudah dipikul. Lebih berat lagi, ternyata baik bapak maupun ibunya kemudian meninggalkan anak-anaknya; anak-anak dititipkan pada kakek-neneknya. Tak hanya ditinggalkan, tetapi merasa terbuang! Sesudah itu, dalam keterpurukannya, ternyata kakak-kakaknya pun tercerai berai, berpisah dan tak saling komunikasi. Orang-orang yang diharapkan menjadi orang-orang terdekat tidak ada. Kakek yang menjadi pelindung hati dan tulang punggung ekonomi meninggal, suatu kehilangan yang begitu menghampakan. Dia butuh tempat di mana ia merasa berharga dan diterima, tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Kerabat-kerabatnya menyalahkan kedua orangtuanya yang menelantarkan anak dan ‘membebani’ neneknya dengan tanggungjawab memelihara cucu-cucunya. Kesepiannya semakin mendalam, karena dia merasa harus menyimpan bebannya sendirian jangan sampai masalah keluarganya diketahui oleh teman-teman.
Ia ingin melarikan diri dari masalahnya! Masalah yang silih ganti dan bertambah berdatangan dalam hidupnya dan dia merasa tak kuat lagi menanggungnya. Ia merasa hidupnya tak lagi bermakna, dan seolah tiada artinya kehidupannya di dunia. Tak ada yang akan kehilangan dia kalau meninggalkan dunia ini, bahkan neneknya tak akan lagi terbebani. Dia pun akan terbebas dari semua derita ini.
Aku mengajaknya berpikir, benarkah masalah akan selesai kalau dia bunuh diri? Membunuh diri tak akan menghasilkan kebahagiaan apa-apa, selain menghasilkan kematian belaka. Killing yourself won’t make you happy, it will simply make you dead! Neneknya pun bukannya tak lagi terbebani, tetapi akan menanggung beban baru lagi.
Kuyakinkan pula, bahwa orang yang melarikan diri dari masalah selamanya tidak pernah akan sukses. Kesuksesan tak pernah menjadi hak orang yang melarikan diri dari masalah. Hanya mereka yang berani menghadapi persoalannya, juga kalau keberanian itu membuatnya jatuh dan jatuh, yang akan bisa meraih keberhasilan. Orang yang melarikan diri dari masalah, mungkin tidak merasa jatuh dan gagal, tapi dia tidak mungkin mencapai keberhasilan.
Sekarang bunuh diri, akan mati. Tidak bunuh diri pun, pada saatnya kita semua juga akan mati. Tapi kita bisa memilih kematian kita menjadi kematian yang bermakna dan mulia atau kematian tanpa makna, sia-sia, atau bahkan hina. Usianya baru lima belas tahun, taruhlah misal hidup sampai tujuhpuluh tahun, maka ia masih punya kesempatan hidup limapuluh lima tahun! Lima belas tahun hidup seolah tanpa makna bisa dilanjutkan dengan limapuluh lima tahun hidup penuh makna dan bahagia. Akankah hidup lima belas tahun penuh penderitaan ini diakhiri dengan penderitaan pula! Atau akan dilanjutkan dengan lima puluh lima tahun penuh makna dan bahagia hingga nanti saat mengakhirinya dengan kematian yang mulia?
Aku mulai menyanjungnya, dengan sanjungan tulus atas apa yang tadi dikatakannya, bahwa meski keadaannya seperti ini dia tidak melarikan diri dengan obat-obatan atau pergaulan yang tidak sehat! Aku mengatakan dan meyakinkan dia, betapa dia ini sebenarnya perkasa dan luar biasa. Seorang yang seteguh ini sungguh dibutuhkan untuk masa depan dunia. Mulai tampak sedikit rona pengharapan di wajahnya.
Aku memberi beberapa inspirasi yang mungkin bisa dia buat untuk menolong banyak orang. Misalnya saja dia menuliskan pergulatan hatinya, kemudian menggubahnya menjadi sebuah cerita entah cerita pendek, puisi, novel atau apa yang mengungkapkan pergulatannya. Cerita yang sungguh bertolak dari pengalaman nyata dan mendalam darinya, mungkin akan bisa membuat orangtua berpikir ulang tentang anaknya ketika ingin bercerai dan bisalah itu menyelamatkan keluarganya. Anak-anak muda yang ada dalam pergulatan yang sama dengannya akan mendapatkan keteguhan pula. Kalau penderitaan kita ini dapat berguna untuk keselamatan orang lain, mengapa kita tidak menggunakannya? Bukankah Gusti Yesus itu juga menderita di kayu salib, namun penderitaannya menyelamatkan kita? Mungkin kita bukan orang tersalib, tapi kita juga boleh ikut memikul salib… dan kita pun bisa membuat salib kita berguna demi keselamatan.
Rona wajahnya semakin menyala…
Satu hal lagi kukatakan, sebagai yang terakhir tapi sangat penting untuk kunyatakan: Kalau kamu melakukan semua itu, mengolah sakit-deritamu untuk menyelamatkan orang, hidupmu akan sangat berharga dan bermakna. Pasti derita dan kesulitan hidup tetap ada, tetapi kebahagiaan akan hadir pula, jauh lebih besar dan melingkupi semuanya… Tetapi hidupmu sekarang ini pun, tanpa telah melakukan hal-hal yang akan membuat guna dan makna seperti itu, sekarang ini pun hidupmu ini berharga! Mengapa ada seorang sahabat mengantarkanmu ke sini ketika engkau mengatakan hendak bunuh diri? Kenapa dia tidak diam dan cuek aja membiarkan semuanya terjadi begitu saja? Karena kamu berharga di hidupnya. Mengapa aku mendengarkanmu bercerita dan berusaha meyakinkanmu untuk bukannya mengakhiri hidup tapi melakukan hal-hal yang berguna? Karena aku tahu engkau ini batu permata berharga bagi masa depan banyak anak muda dan bahkan bagi keluarga-keluarga yang lebih tua… Hanya saja permata itu belum bersinar karena belum digerenda dan digosok sempurna! Mengapa Tuhan mengirimmu malam ini ke sini? Karena kamu mutiara berharga dihatiNya, kamu sangat dicintaiNya, dan hidupmu berharga di mataNya! Kamu diselamatkanNya karena kamu dicintaiNya dan kamu dibutuhkanNya untuk berkarya di dunia!
Air matanya meleleh… semoga oleh keharuan bukan oleh derita yang makin dalam!
Aku mengakhiri perjumpaan dengan doa dan berkat, sebab hanya Tuhan yang bisa membuatnya sungguh selamat!
Ia pulang dengan membawa senyuman, meski aku tahu derita tidaklah begitu saja hilang…
...semoga kita teringat untuk tak pernah membiarkan seorang pun anak merasa hidupnya sia-sia, semoga kita semakin menghayati dan membangun hidup penuh makna!
papa tan mengasihi Anda semua!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar